Warga Bulusilape, desa berpenduduk 70 keluarga di kecamatan Habinsaran, Tobasa, segera mendapat giliran menjadi peserta Sistandu (sistem pertanian terpadu) berbasis peternakan, demikian siaran pers TPL yang diterima Analisa, Sabtu (10/10).
Pesertanya sebanyak 10 keluarga untuk tahap pertama sedang diseleksi, kemudian akan diberi pelatihan, kata Lambertus Siregar, Kepala CSR (corporate social responsibility) TobaPulp. Segera setelah pelatihan, program langsung dapat dijalankan.
Sistandu (IFS – integrated farming system) adalah program pertanian berbasis peternakan yang disatupaketkan dengan pertanian (hortikultura seperi kacang-kacangan, biji-bijian) dan perikanan darat (ikan mas). Program ini sudah dimulai 2003 dan hingga September 2009 pesertanya sudah mencapai 190 kepala keluarga. Dengan pertambahan 10 peserta baru jumlah anggota menjadi 200 keluarga.
Sistemnya dibuat bergulir. Artinya, setiap peserta yang memperoleh secara gratis bantuan 3 ekor ternak (2 diantaranya betina) diwajibkan menyisihkan 2 anak sapinya, untuk digulirkan kepada calon peserta baru dan kewajiban itu berlaku untuk selanjutnya. Dengan demikian peserta Sistandu akan terus bertambah seiring dengan pertambahan populasi sapi.
Sistandu, pada mulanya dikembangkan di kawasan dekat industri pulp TobaPulp di Parmaksian. Tetapi kemudian meluas hingga menjangkau kawasan-kawasan dekat HTI (hutan tanaman industri) sebagai sumber bahan baku jangka panjang dan berekesinambungan, yakni Aekraja (Tapanuli Utara), Tele (Humbahas, Samosir, Dairi, Pakpak Bharat), Aeknauli (Simalungun) dan Habinsaran (Tobasa). Desa Sidulang –juga bagian dari kawasan HTI Habinsaran— akhir tahun ini memperoleh giliran.
Jajaki
Rabu pekan ini, Lambertus Siregar dan beberapa staf TPL diantaranya Porman Simarmata (Humas) menjajaki langsung calon peserta di Sidulang dan sudah menemukan sejumlah nama. "Kita masih akan seleksi," katanya.
Salah satu persyaratan untuk menjadi peserta ialah kesediaan mengikuti program secara penuh, meliputi pemeliharaan sapi sesuai standar agar dapat berkembang dengan baik, serta kesediaan menggulirkan sepasang anak sapinya, kelak, kepada penerima baru yang ditentukan oleh TobaPulp.
Persyaratan lainnya berupa kewajiban membangun kandang minimum 3x4 meter, penyediaan lahan penanaman rumput gajah minimum seluas 3 rante (1.200 meter persegi), serta pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk kompos. "Beberapa calon peserta sudah ada yang membangun kandang dan menyediakan lahan pertanaman rumput gajah, tetapi bibit rumputnya masih dicari di kawasan sekitar seperti Sidulang dan Laguboti dan bahkan Matiti (Humbahas)," kata Siregar.
Setiap hari setiap ekor sapi membutuhkan asupan makanan 10% dari berat badannya berupa rumput gajah, dedak dan konsentrat. Dengan asupan makanan seperti itu setiap ekor sapi menghasilkan kotoran 3 kg.
Untuk menghasilkan kompos bermutu tinggi, kotoran sapi dicampur lagui dengan hijauan (rumput) dan mikroba untuk pembusukan. Dari pembuatan kompos itu saja petani dapat menghasilkan 10 kg pupuk kompos senilai Rp5.000 per hari.
Melalui asupan gizi yang cukup serta pemeliharaannya dengan "hati" (dimandikan, disayang-sayang, diberi minum air bersih) sapi dapat tumbuh seberat 30 gram per hari atau 0,9 kg per bulan dan betinanya dapat mulai beranak pada usia 2 hingga 2,5 tahun. Bulusilape, 15 kilometer di selatan Parmaksian, berada di lintasan jalur logistik menghubungkan pabrik dengan HTI Habinsaran. Konsesi Habinsaran mencapai luas 28 ribu hektar, tetapi hanya sekitar 8.000 hektar saja yang dikembangkan menjadi "kebun eucalyptus." (rel/am)
0 komentar:
Posting Komentar